Sunday, August 14, 2011

Puasa, Seni Menahan Diri, dan Sains

Mereka yang masih menolak untuk berpuasa Ramadan karena alasan bahwa puasa itu sekadar kewajiban ritual agama, sebaiknya mencoba cara pandang yang berbeda. Salah satu pelajaran dari puasa adalah seni menahan diri. Shiyam (puasa) secara harfiah berarti menahan diri.

Dalam puasa, manusia diajarkan untuk menahan diri dari makan, minum, berpikir, dan bertindak negatif, serta melakukan tindakan seksual selama proses berpuasa dalam rentang waktu tertentu. Selama 30 hari berarti manusia melatih diri (exercise) untuk mengontrol nafsu secara terukur. Di luar Ramadan, tentu diharapkan hasil latihan ini bisa dipakai sebagai seni hidup sehari-hari.

Seni menahan diri ternyata sangat penting untuk mengelola seksualitas--suatu kebutuhan dasar yang sangat sentral dan natural dalam diri manusia. Seorang kolumnis Amerika, Naomi Wolf, pernah menulis kolom tentang pornografi dan impotensi di Koran Tempo (13 Juli 2011).

Intinya bahwa mengkonsumsi pornografi akan mengakibatkan penurunan kepekaan seksual dan karena itu mengakibatkan impotensi. Ahli terapi dan konseling seksual melihat adanya kaitan impotensi dan ejakulasi dini yang meningkat di kalangan laki-laki muda usia saat ini karena meningkatnya pornografi di kalangan mereka. Hipotesis di kalangan para ahli adalah bahwa pornografi secara progresif telah menyebabkan desensitizing--hilangnya kepekaan seksual laki-laki.

Seperti diketahui, pornografi memberikan reward kepada otak laki-laki dalam bentuk dorongan saraf dopamine yang meningkatkan mood seksual. Jaringan saraf ini identik dengan jaringan yang mencetuskan ketagihan lainnya, seperti ketagihan berjudi atau mengkonsumsi narkoba. Efek dopamine ini menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi semakin ekstrem setelah sekian waktu: citra-citra seksual yang biasa saja akhirnya kehilangan keampuhannya sehingga membuat laki-laki yang mengkonsumsi pornografi itu memerlukan citra-citra baru yang melanggar tabu-tabu lainnya untuk merasakan kepuasan seksualnya.

Pelajaran penting di sini: untuk menikmati seksualitas, diperlukan seni menahan diri untuk tak mengumbar seksualitas.

Mari juga kita coba cara pandang berbeda berupa pendekatan sains terhadap puasa. Selain sudah banyak diungkapkan bahwa puasa berefek positif bagi kesehatan, misalnya untuk menurunkan obesitas dan efek detoksifikasi, ternyata puasa juga bisa mengubah struktur otak. Demikian paling tidak pendapat Dr Taufiq Pasiak, ahli nueurosains dari Universitas Sam Ratulangi, Manado, kepada Koran Tempo.

Kata dia, puasa menjadi latihan mental yang berkaitan dengan sifat otak, yakni neuroplastisitas. Sel-sel otak dapat mengalami regenerasi dan membentuk hubungan struktural yang baru, salah satunya karena latihan mental yang terus-menerus. Bahasa awamnya, apabila seseorang melakukan perbuatan baik secara terus-menerus, struktur otaknya akan berubah. Waktu yang dibutuhkan untuk mengubah sel saraf itu minimal 21 hari.

Fakta lain, di dalam otak ada sel yang disebut sebagai neuroglial cells yang berfungsi sebagai pembersih otak. Saat berpuasa, sel-sel neuron yang mati atau sakit akan "dimakan" oleh sel-sel neuroglial ini. Juga ada hasil penelitian yang dilakukan John Rately, seorang psikiater dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, yang menunjukkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori meningkatkan kinerja otak.

Jadi, puasa mungkin bukan sekadar kewajiban agama, yang berarti kita boleh meninggalkannya jika tak percaya, tapi ia mengandung pelajaran seni hidup dan sains untuk mengelola kesehatan fisik dan spiritual.

Sumber: www.tempointeraktif.com

0 comments:

Post a Comment

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.