Saturday, November 12, 2011

[Hari Pahlawan] Cerita Bendera pada Sebuah Desa

Rudi anak seorang petugas desa. Hari ini mendapat mandat untuk mengibarkan Bendera Merah Putih di Lapangan Balai Desa. Itu pesan bapaknya melalui pesan pendek. Tugas bapaknya seperti ini disetiap pagi. Mengibarkan Sang Pusaka di kerekan depan kantor tempat bapak bekerja. Tetapi minggu ini beliau sedang ke Jakarta. Untuk berdemo tentang nasib para petugas desa. Untuk menuntut upah setimpal agar periuk-nasi rumah terisi ala-kadarnya. Sayang bapak Rudi menolak menjadi sekertaris desa dua tahun yang lalu. Yang sekarang Kang Maman di tunjuk jadi carik 3 bulan lalu itu malah dijadikan Pegawai Negeri.
“Itu bukan rejeki kita” kata bapak dahulu.
Tapi siapa tahan dengan gaji yang tak seimbang dengan pekerjaan? Ditambah lahan bengkok tak produktif akibat cuaca kurang bersahabat? Kali ini puncak rasa cemburu seorang lelaki karena masalah penghasilan menjadi membengkak akut. Bapak Rudi iri dengan Kang Maman. Tapi masih dengan akal sehat - itupun karena bisikan ibu yang menyejukkan- kemudian bapak Rudi menjadi anggota perkumpulan pengurus desa. Alih-alih bapak becek-cok tanpa sumber masalah jelas. Ataupun bapak Rudi mencalonkan menjadi kepala desa, dan tak pasti menjadi kepala desa. Ia mengikuti organisasi itu. Disana bapak Rudi mendapatkan bahwa nasib sama juga dialami oleh banyak pengurus desa. Lalu ada aba-aba dari pengurus pusat nasional. Mereka ke Istana untuk bersama-sama memperjuangkan segelintir nasib penghuni Balai Desa.
“Bapak mau jalan-jalan ke Jakarta nok, nanti bapak bawa oleh-oleh” kata bapak kepada adik Rudi. Masih merengek dan ingin ikut dengan bapaknya. Itu 3hari lampau.
Rudi kemudian menuju ke Balai Desa. Menggunakan sepeda tua milik bapaknya. Karena ini hari Pahlawan. Bapak Rudi menyuruh membawa bendera baru yang disimpan di rumah. Melajulah Rudi menggenjot dan menyelempangkan bendera di pundak. Sampai pada tikungan pertama ia mendapatkan Kang Udin yang hendak pergi ke sawah.
“Gimana Rud? Sudah dapat pekerjaan belum?” “Belum Kang. Kemarin sudah ngrim ke Outsourching. Ini nunggu panggilan.” Rudi adalah lulusan SMK. Jika bulan ini tidak mendapat panggilan pekerjaan. Ia akan hijrah ke Jakarta untuk mencari pekerjaan disana. Disana toh… ada sepupunya.
Rudi juga enggan meneruskan menjadi pengurus desa seperti Bapak. Jiwa muda berpetualang Rudi masih mendominasi. Sama seperti separuh teman-teman di desa yang merantau ke berbagai penjuru. Ia juga mendapati keputusan sama dengan dirinya. Bapak tak menyarankan untuk meneruskan pekerjaan sama dengan dirinya, ibu juga memerdekakan ia berkerja menjadi apapun dimanapun. Asal halal, itu kesepakatan bersama.
Konsentrasi Rudi terpecah karena perbincangan mengenai pekerjaan tadi. Sepeda Rudi tak mampu menghindari batu licin yang tergenangi air hujan semalam. Jatuhlah ia bersama bendera dan lamunan pekerjaan.
“Aduh… biyung… Benderanya kotor” ia menganggkat bendera yang menggenang bersama air cekungan disisi jalan. “Oi Rud makanya kalau jalan jangan ngelamunin si Rohimah. Haha…” kata seseorang dibelakang. Setelah Rudi menoleh ia mengenal bahwa itu teman sedesanya.
“Ah kamu Lan…”
“Tadi malam kamu nggak ada di Konser Dangdut RT 2?” tanya Alan. Melihat Rudi yang bangkit. Ia mematikan motor dan menolong. Owh bukan… bukan menolong Rudi, tapi sepedanya.
“Aku jaga rumah. Bapak ke Jakarta Lan. Kamu pulang kapan? Kok malam tadi sudah dangdutan?” tanya Rudi. Tapi matanya masih meratapi bendera baru yang terkena cipratan tanah.
Alan itu anak Kang Maman. Carik desa ini. Alan melanjutkan kuliah di Semarang. Ia mendapat pendidikan yang lebih tinggi seperti Rudi impikan. Rudi menginginkan itu. Tapi kenyataanya bapaknya tak mampu meneruskan ke Universitas. Dan masih banyak adik-adik bersekolah jauh dibawah umurnya. Tak patut ia menyalahkan apapun. Langkah selanjutnya hanya bekerja, menjadi mandiri dan mengangkat harkat keluarganya.
“Kemarin Rud. Mau kemana? Ke Balai Desa? Ayo tak bantu kesana.” “Oke. Terimakasih. Aku bisa kesana sendiri.”
“Nanti malam aku ke rumahmu ya, Rud.”
“Oke. Tak tunggu Lan” melihat Alan cepat berlalu dengan motor.
Ia menapak pedal sepeda menuju Balai Desa yang sudah di jangkauan mata. Kali ini bendera, ia tak panggul dipundak. Rudi menjepitnya di boncengan belakang. Risih karena kotor dapat menjalar ke bajunya.
Di istirahatkan sepeda pada sebuah dinding waktu ia mencapai Balai Desa. Lalu ia mencari ide untuk membersihkan Bendera. Sepi juga pagi ini. Pak Kades dan Pak Carik mungkin ke Kabupaten dan Kecamatan menghadiri Upacara Hari Pahlawan. Lalu petugas desa lain bersama bapak Rudi masih di Jakarta. Ia membuka kunci Balai Desa lalu menuju ke kamar mandi. Membuka kran tapi tak mengalir air kran itu. Melongok pada bak ternyata kosong.  Bagaimana ia bisa mencuci bendera? Harus pulangkah?
” Hujan! ” teriak Rudi. Terdengar rintik keras menerpa atap seng Balai Desa.
Ia kemudian keluar. Lalu cepat-cepat mengerek Bender Merah Putih menuju puncak tiang. Berharap hujan mampu melunturkan cipratan tanah. Mampu membersihkan Sang Saka. Mampu meluluhkan galau mudanya akan sebuah pekerjaan. Dan iri hati karena keadaan tak sesuai harapan.
note = Biyung:ibu, carik:sekretaris desa,
Kudus 10 November 2011 16:04 @Kompasiana- Fiksiana. Untuk semua petugas kelurahan dan balai desa se-Indonesia. Bagi saya meraka adalah Pahlawan Akar Rumput. Dan petugas pengibar bendera di desa/kelurahan.  Mengibarkan Sang Saka Merah Putih diwilayah mereka. I Love It.  kompasiana.com
Read more »

Ia Diperkosa Tujuh Pria [Sebuah Kesaksian]

Bertemu dengan wanita ini adalah sebuah keberuntungan. Ia cantik, berambut lurus hitam panjang. Namun dimatanya terpancar sebuah luka yang amat dalam. Sekilas tak ada tanda - tanda kelainan dalam dirinya. Ia seperti kita, manusia normal pada umumnya.
“Kalian boleh katakan ini cerita bohong, kalian boleh katakan ini hanya halusinasi. Bayang-bayang hitam, seperti hitamnya asap pada masa itu, yang setiap hari selalu menghantui , yang setiap hari muncul di depanku.”
Ia memulia ceritanya. Dialah Liana, salah seorang saksi pada tragedi 1998 silam. Liana saat itu memiliki sebuah toko yang di kelolanya sendiri, dan ia tinggal di sebuah rumah kontarkan kawasan Jakarta Barat.
Saat ini aku sedang bersamanya. Bukan ingin membuka lukanya, tapi ia sendiri yang tanpa kendali mulai mengeluarkan kisahnya.
Ia berasal dari Batam. Saat itu usianya 24 tahun. Gadis belia yang sedang merintis usaha. Di sebuah mall yang baru dibuka.
“Ketika asap hitam membubung ke angkasa, ketika tubuh terpanggang di mana - mana, ketika aku melihat seseorang panik terjebak dalam kobaran api. Ketika ia melompat dari atas gedung mall yang tinggi. Dan ia jatuh tepat di depanku dengan tubuh tak lagi beraturan. Saat itu aku berteriak. Tuhan engkau ada di mana???”
Sebuah kenangan pahit yang coba ia ingat kembali.
“Suara tangis dan jeritan yang hingga saat ini masih terngiang. Suara ledakan. Suara rintihan. Tubuh - tubuh gosong berbaris. Aroma tubuh terpanggang yang hingga saat ini masih tercium. Entah sampai kapan bayang-bayang itu akan hilang.”
Liana mulai menangis. Aku biarkan ia menangis. Meski tragedi itu sudah lama berlalu, rupanya semua masih terekam jelas dalam ingatanya.
“Apakah kalian tau??? Apa kamu tau?? Luka itu masih menganga di sini??? Di dada ini??”
Aku mencoba memahami apa yang ia rasakan. Aku mencoba mengerti akan luka batin yang ia derita hingga detik ini.
“Ditengah kobaran api yang mengepung. Aku mencoba untuk menyelamatkan diri. Aku mencoba untuk berlari. Melangkahi mayat-mayat yang berbaris. Mayat-mayat yang menghitam. Aku terus lari dan berlari di antara ceceran darah. Aku mencoba melangkahkan kaki di antara keberingasan masa. Aku melihat, seorang anak kecil meraung - raung. Ia mencari ibunya, tak ada satu orangpun yang menolong. Hingga aku beranikan diri melewati keberingasan masa saat itu….”
Liana menghentikan ceritanya. Isaknya tak tertahankan. Aku hapus air matanya dengan tissu yang ku ambil dari dalam tasku.
“Aku berusaha menolongnya saat itu. Tapi aku tak berhasil. Ia di seret seseorang dan di bawa entah ke mana. Saat aku berteriak minta jangan lukai anak itu, justru puluhan masa menghadangku. Kamu tau apa yang mereka lakukan terhadapku?? Apa kalian semua tau??? Mereka membawaku ke sebuah gedung tua. Mereka memperlakukan aku bak seekor binatang. Aku meronta. Tapi aku tak berdaya. Aku di perkosa oleh mereka… Aku … aku…..”
Liana histeris, aku coba menenangkanya. Memeluknya. Hingga tangisnya reda.
“Apa kamu tau berapa jumlah mereka???? Tujuh orang. Mereka bertujuh. Terkadang aku tak sanggup dengan semua ini. Aku ingin mati. Aku sungguh ingin akhiri hidup ini… Aku ingin matii…..”
Liana mulai tak terkendali.  Suaranya parau. Ia berteriak histeris. Aku sungguh tak kuasa menahan ari mataku. Aku merasakan luka yang ia derita. Sesak mendengar pengakuanya. Liana mulai mengamuk. Jiwanya mulai labil. Dua orang suster mencoba menenangkanya.
Sekian puluh kali aku ke sini. Baru kali ini Liana bercerita. Biasanya ia hanya duduk dan terus berdiam.
Liana adalah  kakak dari seorang temanku Dina. Aku menemainya ke rumah sakit sini untuk menjenguknya. Lama Liana berada di sini, namun luka itu masih melekat dan telah menyatu dengan tubuh dan jiwanya. Temanku yang tak lain adalah adiknya, memilih menjauh dari pada lagi - lagi mendengar cerita luka yang membuat hatinya juga terluka.
Hari sudah sore,  aku mencari - cari sosok Dina yang ternyata sedang  menyendiri di bangku taman rumah sakit ini.
Sebuah warna telah tertoreh dalam hidup. Warna hitam dan kelam. Bagiku Liana adalah malaikat. Seorang malaikat yang hendak menolong anak kecil.
———————-
*Sebuah fiksi yang terinspirasi dari seorang teman yang kakaknya mengalami pelecehan seksual dalam tragedi 1998 silam. Tokoh Liana adalah fiktif  kompasiana.com
Read more »

Demi Suamiku Aku Rela Masuk Neraka

 “Bu, malam ini nggak pulang ya?” suaminya bertanya.
“Iya ayah, kayaknya saya akan menginap, bu Rika butuh saya disana. Cateringnya sedang banyak pelanggan.”
“Baiklah bu, jaga kesehatan, kalau ibu sakit malah tambah repot, maafkan suamimu yang tidak berguna ini bu,,”
“Iya ayah gak apa – apa..jangan bahas itu lagi. Doakan saja ya ..”
Retno merias wajahnya, menggantungkan harapan pada merah lipstiknya. Mengenakan baju mini dan dilapisi jaket. Dimasukkan dalam tas, tak lupa minyak wangi aroma melati ia oleskan sedikit di bagian bawah telinga.
“Ayah, ibu berangkat ya, titip Uning. Nasi dan ikan jambalnya masih ada di lemari. Dihangatkan saja. Suruh Uning bantu.”
“Hati – hati bu, salam buat ibu Rika. Sampaikan ucapan terimakasih ayah padanya karena sudah membantu ibu mendapatkan pekerjaan.
“Iya ayah..”
Ibu Rika?? Siapa dia? Suami Retno hanya tau namanya. Tak pernah tahu bagaimana wajah dan bentuknya. Karena semua fiktif. Itu hanya alasan Retno untuk menutupi pekerjaannya saat ini.
Setelah 5 tahun terakhir suaminya menderita stroke, kini Retno yang mencari sesuap nasi. Retno harus bekerja. Ia tak mau Uning berhenti sekolah. Uning harus pintar. Uning tak boleh jadi perempuan bodoh sepertinya.
*****************************************ALA************************************************
Di Taman Prostitusi
“Mas, boleh mas, 300 ya?”, Retno membuka harga
“Mahal amat? Bisa nego nggak?” tawar calon pelanggan
“Berapa maunya?”
“100 ribu deh, oke?”
“ Naikin dong masa 100 ribu?”
“Ya udah mentok nih 200. Kalau nggak mau saya cari perek lain aja!!”
Mereka pun menuju taman dimana Retno dan kawan – kawan se profesinya bertugas. Jantung Retno berdegup kencang tiap kali ia mendapatkan pelanggan. Rasa berdosa, malu, dan jijik pada diri sendiri acapkali singgah. Namun ini harus dilakukannya. Demi suami dan seorang anak gadisnya.
“Lama amat sih loe?” pelanggan mulai tak sabar
“Buruan buka baju, waktu gue gak lama. Keburu ketahuan bini gue nanti!!”
“ Iya mas sabar..” Retno menjawab sambil menahan tangis.
Retno mulai menanggalkan baju seksinya yang murahan, berikut bra dan celana dalam. Ia pun membantu sang bajingan melepaskan pakaiannya juga. Tangan Retno mulai menjamah bagian – bagian sensitive’nya. Membasahi setiap detil tubuh laki – laki itu dengan liur ketidakrelaan. Laki – laki itu mulai mendesah. Merasakan pelayanan Retno yang ia anggap cukup mematikan. Satu jam berlalu. Ritual selesai. Retno kelu dan lunglai. Tak kuat memandang tamunya malam itu.
“nih,  200 kan? Makasih ya, besok kalau ada uang lagi gue datang cari lo!!”
Di lemparkan 2 lembar uang seratus ribuan itu ke tanah. Retno meungutnya dan kembali mengenakan pakaian. Waktu menunjukkan pukul 4 pagi. Suara adzan menggema di seantero negeri. Retno mau pulang, ingin mencuci tubuhnya dengan air suci. Retno takut Tuhan marah. Tapi ini semua demi keluarganya.
“bu, sudah pulang? Capek ya?”
“iya ayah. Sedikit sih capeknya. Aku mandi dulu ya? Mau subuh’an sekalian..”
Saat Retno menarik gayung, tak kuasa ia menahan tangis, bulir itu semakin deras. Hingga membasahi dinding hatinya yang terluka.
Setelah mandi, Retno berinteraksi dengan Tuhan. Ia katakan semua, ia ceritakan kegalauan hatinya. Sambil berdoa ia pandangi wajah anak dan suaminya yang sudah kembali tertidur.
“Maaf ayah, ibu hanya mau menjadi yang terbaik untuk kalian berdua.. Sekalipun uang haram ini yang kenyangkan perut kita,, Dosa ini aku yang tanggung,, asalkan kalian bahagia, masuk neraka pun aku rela..”  kompasiana.com
Read more »

Friday, November 11, 2011

Sebuah Cara Untuk Bersyukur

"Duh senangnya jika bisa punya rumah megah, mobil mewah, hidup bagaikan putri, ingin beli ini itu tinggal tunjuk, mau BB, i-phone atau Experia tak perlu banyak berpikir, yah sepertinya enak bisa hidup seperti itu," lamunan Anda melayang jauh tatkala motor matic yang Anda kendarai berjajar dengan sebuah Audy TT silver yang membuat Anda silau.

Rasa kesal, iri dan angan Anda kemudian seharian membuat Anda tidak mood bekerja dan merasa sangat bete. Tiba-tiba Anda menyesali pekerjaan yang sedang Anda jalani, menyesali kekasih yang rajin bekerja sebagai seorang sales dan berharap mendapat sosok eksekutif muda yang sukses dan kaya, menyesali gaji dan bonus per bulan yang sebenarnya cukup untuk membeli make up Anda, dan banyak lagi penyesalan lain yang membuat Anda kehilangan konsentrasi.

Apa sih yang sebenarnya Anda butuhkan? Apakah rumah mewah, perusahaan besar, pacar yang kaya raya, mobil mewah dan semua barang-barang branded mahal?

Jika Anda mau melirik sekitar, masih banyak orang yang hidup kekurangan. Mereka bahkan hidup di jalan, menu ayam goreng bagaikan menu langka yang amat sangat jarang mereka santap. Jangankan memiliki handphone, untuk makan sehari tiga kali saja terkadang mereka tak sanggup. Bagaimana dengan mereka, pernahkah Anda memikirkannya dan melamunkannya?[break]

Memang menjadi kaya dan memiliki kekuasaan adalah impian setiap orang. Tetapi apa yang telah Anda miliki saat ini cukup membuat hidup Anda bahagia bukan?

Anda masih bisa makan sehari tiga kali dengan lauk empat sehat lima sempurna, Anda masih bisa ber-SMS dan chatting dengan handphone yang Anda punya (sekalipun itu bukan BB atau i-phone), Anda masih bisa berjalan-jalan seminggu sekali dengan matic Anda (tak harus berjalan kaki ke mana-mana), Anda masih punya kekasih yang perhatian dan menyayangi Anda (meskipun ia tak selalu membawa emas berlian setiap Anda berkencan dengannya). Lalu apalagi yang masih kurang?

Sadarkah Anda betapa pentingnya dan berharga apa yang telah Anda punya saat ini?

Entah itu motor matic, handphone, rumah, kekasih, atau pakaian yang Anda kenakan, Anda masih jauh lebih beruntung dari sekian banyak orang di sekitar Anda. Apa yang Anda miliki saat ini jauh lebih baik dari yang dimiliki orang lain. Syukurilah semuanya itu, dan jadikan setiap hal kecil di hidup Anda menjadi lebih istimewa dibanding emas dan permata sumber
Read more »

Bercermin Dari Gugurnya Daun

Do the one thing you think you cannot do. Fail at it. Try again. Do better the second time. The only people who never tumble are those who never mount the high wire. This is your moment. Own it." - Oprah Winfrey - 

"Bisa nggak ya?", "Kalau gagal gimana ya?" Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin saja timbul di benak Anda. Perasaan ragu membayangi semakin lama keraguan menjadi semakin besar. Dan Anda mulai mengambil langkah mundur.

Ketika ada kesempatan menunggu Anda untuk meraihnya apa yang biasanya Anda lakukan? Diam atau nekat mengambil kesempatan itu dengan resiko gagal. Setiap orang memang takut gagal, takut kecewa dan itu wajar saja. Namun pernahkah Anda berpikir untuk meraih kesempatan tersebut dan menghadapi segala resikonya?

Memang kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa depan. Bayangkan saja betapa menyesalnya kita jika satu kesempatan telah terlewat. Setidaknya saat kita ambil kesempatan itu dan gagal, kita masih bisa tersenyum bangga karena pernah mencobanya.

Seperti pohon di musim kemarau, ia akan mengugurkan daunnya demi bertahan hidup. Namun kemudian ketika sang hujan datang ia akan bangkit dan membuat daun-daunnya kembali bersemi. Demikian juga Anda akan mencoba bangkit saat Anda jatuh.

Lakukan apa yang paling takut Anda lakukan. Jika Anda gagal, jangan ragu untuk mencobanya lagi. Lakukan yang terbaik di kesempatan berikutnya. Nikmati setiap proses dan momennya. Dengan begitu, hidup memang untuk Anda. Ada rencana besar dari-NYA yang sedang menunggu Anda sumber
Read more »

Bergulung Bersama Ombak Lautan

Sekelompok mahasiswa mengisi libur panjang mereka dengan berkemah di tepi pantai yang terpencil. Suasana di pantai begitu sepi dan tenang karena pantai tersebut belum dibuka untuk umum. Sebagaimana pantai laut lepas lainnya, ombak menderu, bergulung-gulung tinggi dan menghempas dengan ganas.

Di siang hari menjelang sore, sekumpulan anak muda ini duduk-duduk di pantai memandangi laut lepas. Diiringi deburan ombak, mereka menceritakan kehidupan dan isi hati mereka. Kehidupan sebagai orang yang beranjak dewasa, tidaklah mudah bagi beberapa orang. Kerasnya kehidupan seringkali berbenturan dengan idealisme yang selama ini dipegang. Sore itu mereka berbagi kegelisahan dalam ketenangan pantai.

Saat berbincang, nampaklah siluet tubuh manusia ikut bergulung dengan ombak. Dengan rasa terkejut, mereka segera berlari ke arah pantai dan mencari cara untuk menolong orang itu. Namun dari siluetnya yang lemah, mereka semua menduga orang itu sudah tak tertolong lagi. Maka mereka mencari sesuatu untuk menarik tubuhnya agar tidak hilang ditelan lautan.

Saat mereka sibuk di pantai, gulungan ombak mengantarkan tubuh yang lemas itu ke pantai. Mereka yang tahu langsung berlari untuk menangkapnya di tempat yang agak dangkal. Namun betapa terkejutnya mereka ketika tubuh lemah itu mendadak berdiri, keluar dari air dan berjalan ke pinggir pantai.

Para mahasiswa yang masih bingung mendekati si pria yang sedang menatap ombak sambil mengatur nafasnya. Mereka tidak tahan untuk tidak bertanya bagaimana pria itu bisa selamat dari arus lautan yang demikian. Selama ini orang yang terjebak di dalam arus demikian tidak pernah berhasil terbebas dengan kondisi selamat.

Si pria menjawab, sebenarnya sangat mudah. Dia hanya mengikuti ke mana ombak membawanya, dia tidak berusaha melawan saat ombak menggulungnya tinggi dan juga tidak melawan saat ombak menghempas ke bawah. Ombak-ombak itu selalu mengarah ke pantai, tinggal menunggu waktu saja hingga sampai ke pantai selain berdoa agar semua berjalan dengan seharusnya.

Hidup selalu memiliki masa-masa naik dan turun. Bagaimana kita menyesuaikan dan mengatur diri sendiri dalam setiap situasi, itulah yang menentukan sejauh mana keberhasilan kita dalam hidup. Saat Anda memutuskan untuk keluar atau lari dari situasi sulit, saat itulah Anda kalah dalam perang dan tenggelam ke dasar lautan sumber.
Read more »

Opening SEA Games Termegah

Masyarakat Sumsel patut bangga, pembukaan SEA Games berlasung megah dan spektakuler sepanjang sejarah. Meski hujan turun tidak mengurangi semarak penyelenggaraan pesta olahraga negara-negara ASEAN tersebut.
Upacara pembukaan ajang olahraga terbesar di Asia Tenggara, SEA Games 2011, di Stadion Gelora Sriwijaya, Jumat (11/11) malam, spektakuler.
Pembukaan diawali parade kembang api dan tatanan lightingserta efek komputer yang sangat luar biasa yang memantul diwhite screenyang dipasang di areal rerumputan stadion Jakabaring tepat pukul 19.00.
Dengan menggunakan elektrik kanvas ukuran 54m X 56 m, Stadion Gelora Sriwijaya disulap menjadi tanah tandus yang retak, kemudian mengalir Sungai Musi dan pepohonan menghijau.
Hingga berubah menjadi samudra nan biru, lengkap dengan kapal Sriwijaya yang menaklukan gelombang. Elictric Canvas, untuk pertamakalinya digunakan di SEA Games, sebelumnya pernah dipakai saat Opening Rugby World Cup di New Zeland dan Opening Asian Games di Dubai.
Acara ditandai dengan pesta kembang api skala besar yang sangat spektakuler, dilanjutkan dengan tarian Journey Begin, tarian singkat yang dibawakan oleh enam wanita cantik mewakili enam pulau besar Indonesia Sumatera, Java, Bali, Borneo, Sulawesi, and Papua.
Dengan pakaian adat dan iringian musik khas daerah masing-masing, mereka secara bergantian menari di atas kepulauan masing-masing, muali dari Sumatera sampai ke Papua.
Kemudian, pertunjukan Musi Heart of The City hasil karya Hartati, menampilkan tanah retak, masyarakat berlarian dan kepayahan mulai menyemai bibit, hingga muncul air dan mengalir menjadi Sungai Musi, memberikan kehidupan baru.
Tanah menjadi subur dan hijau, para nelayan suka cita menangkap ikan hingga gedung-gedung megah berdiri namun tetap didampingi pepohonan hijau.
Tarian kolosal Golden Peninsula dikemas oleh koreografer Alex Hasyim menggambarkan Kerajaan Sriwijaya yang menjadi besar di Sumatera. Dilanjutkan dengan tarian kolosal yang melibatkan ribuan penari,"Merajut Nusantara" menampilkan para penari dengan kostum unik, khas dari berbagai provinsi, yang diiringi orkestra Erwin Gotawa. Khasanah kekayaan seni dan budaya Indonesia tumpah ruah, mulai dari musik, tarian hingga pernak-pernik ciri khas daerah ditampilkan pada pertunjukan karangan Dedy Puja ini.
Terakhir, pertunjukan Reach of The Dream, hasil karya Hartati.
Electric canvas berubah menjadi miniatur lapangan hijau sepakbola. Menceritakan impian seorang anak dan perjuangannya hingga mewujudkan impian tersebut.
Diiringi guyuran hujan, devile kontingen peserta tetap heroik, berurutan sesuai abjad. Dimulai dari Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Timur Leste, Vietnam, dan terakhir Indonesia sebagai tuan rumah. Setiap negara membawa kendaraan yang dihias menjadi miniatur icon negara masing, masing.
Brunai dengan masjidnya nan agung, Singapura membawa patung singa putih, Malaysia menampilkan Twin Tower dan Indonesia membawa dua keajaiban dunia, yakni Candi Borobudur dan Komodo yang memakai selendang batik dan songket. Tanpadikomando, riuh para penonton mengikuti iring-iringan kontingen tersebut.
Prosesi menyalakan api kaldron sangat menakjubkan. Obor api abadi dibawa oleh pasangan mantan atlet Abbas Akbar (pencak silat)-Nurfitriyana (panahan) diserahkan ke Hasan Basri (karate)-Merry Monim, Purnomo (atletik).
Selanjutnya diterima oleh Yayuk Basuki (renang) dan Alan Budikusuma (bulutangkis). Kemudian Alan naik ke kapal Sriwijaya menyerahkan obor tersebut kepada anak buah kapal Sriwijaya dan disulutkan ke mata tombak yang di pegang oleh Susi yang telah berdiri di tiang tertinggi kapal Sriwijaya.
Pertunjukan spektaukaler itupun terjadi. Dari atas tiang kapal Sriwijaya, Susi terbang menuju bibir koldron dengan tangan terbentang dan ujung tombak yang terus berkobar, hingga tombak api itu dilemparkan dan api koldron pun menyala.
Hujan sepertinya sudah diprediksi para panitia. Buktinya setiap peserta diberikan souvenir payung dan jas hujan. Sayangnya Ina-SOC kurang sigap menyiasati peralatan elektronik yang mereka gunakan sehingga mikrofon sempat mati dan layar elektronik rusak sumber
















Read more »

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.